Sumber : Serambi Indonesia
Kamis, 9 Februari 2012 09:16 WIB
Oleh Iskani
Tugas lain adalah pemberian edukasi tentang penggunaan obat generik, dimaksudkan agar masyarakat mengerti bahwa obat generic mempunyai kualitas yang sama dengan obat bermerek dagang karena diproduksi oleh industri farmasi yang mengikuti standar pembuatan obat yang baik (GMP) yang diakui secara internasional.
Bentuk umum resep yang kita lihat adalah bentuk resep yang telah mengikuti ketentuan yang diharuskan, artinya pada satu resep mempunyai bagian-bagian pokok yang diharuskan ada sesuai Permenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, sehingga resep berisi tentang dokter, data pasien, nama obat, dosis obat, jumlah obat, aturan pakai, perimintaan dokter kepada apoteker serta nama dan tanda tangan dokter.
Resep merupakan satu penghubung profesionalitas antara dokter dan apoteker di mana dokter sebagai penulis resep dan apoteker yang mempersiapkan obat untuk kepentingan pasien. Sejak satu lembar resep diserahkan dokter ke tangan pasien, selanjutnya pasien menyerahkannya kepada apoteker, maka resep sudah masuk ke dalam wilayah kewenangan apoteker. Di sinilah peran apoteker untuk menyelesaikan resep sesuai dengan permintaan dokter mengikuti peraturan dan kaidah-kaidah kefarmasian.
Beberapa hal lazim dialami apoteker adalah, resep yang sulit dibaca, dosis tidak sesuai yang diperuntukkan kepada pasien dan hal yang tidak lazim pada resep adalah “resep hanya dapat dibaca di satu apotek saja karena menggunakan kode-kode tertentu”, adanya kalimat “obat tidak boleh diganti tanpa izin dokter, dan Resep Elektronik.
Resep yang menggunakan kode tertentu mempunyai tujuan untuk kepentingan dalam lingkup terbatas. Kondisi seperti ini disebut oligopoli yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan tidak sehat sebagaimana termaktup dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Satu resep yang normal, ditulis mengikuti ketentuan yang berlaku, dapat dibaca oleh semua apoteker dan tenaga teknis kefarmasian lain. Dengan demikian resep berkode, dilarang, karena tidak sesuai dengan standar, dan kondisi ini sudah sesuai dengan larangan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kemudian bila dilihat dari sudut pandang Kode Etik Praktek Kedokteran “seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien” pasal 7C SK PB lDl No. 221/PB/A.4/04/2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran lndonesia.
Dari kalimat “seorang dokter harus menghormati hak tenaga kesehatan lainnya”, jelas bahwa adanya kode tertentu pada resep bertentangan dengan jiwa dan semangat Kode Etik Kedokteran lndonesia. Jadi dari sisi perundang-undangan dan etika profesi tindakan membuat kode pada resep adalah tindakan tidak dibenarkan dan bertentangan dengan etika profesi.
Kemudian beralih ke hal yang tidak lazim lain, adanya kalimat “obat tidak dapat diganti tanpa izin dokter” kalimat seperti ini tidak termasuk bagian dalam resep, dalam selember resep kalimat seperti ini sifatnya tidak permanen/ tidak baku dan apalagi ditulis terus menerus seolah-olah sudah merupakan suatu ketentuan. Ini adalah satu pemahaman keliru.
Tidak ada yang salah bila dokter tetap menginginkan obat yang ditulis pada resep tidak dapat diganti asalkan tetap berpedoman kepada ketentuan ilmiah di atas dan ditulis dengan cara yang benar. Cara penulisannya, dokter dapat menulis (tulisan tangan, bukti otentik) “obat tidak dapat diganti” ini adalah ketentuan yang dipahamiApoteker.
Perlu diingat bahwa kondisi saat ini telah berubah, apoteker dapat mengganti obat yang dituliskan oleh dokter berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, sepanjang pasien menilai, harga obat generic lebih murah dari obat bermerek yang dituliskan pada resep, pasien tidak keberatan penggantian dengan obat generic atas pertimbangan Apoteker dan dokter tidak melarang penggantian dimaksud.
Sesuai dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi (IT), maka resep dokter direkayasa menjadi bagian IT sehingga dikenal resep elektronik. Resep elektronik adalah resep yang diketik secara komputer oleh dokter, berdasarkan sistem kerja komputer, resep langsung terkirim ke apotek, dalam bahasa Inggris dikenal dengan computer generated prescription (resep elektronik terintegrasi).
Resep elektronik ini pada umumnya berada dalam satu lingkungan pusat pengobatan atau lebih mudahnya pada praktek dokter bersama, jadi semua dokter mempunyai jaringan langsung ke apotek. Namun resep elektronik ini tidak dikirim masuk ke dalam sistem jaringan internet seperti email (siklus tertutup).
Untuk memahami hak pasien maka ada baiknya kita melihat UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, antara lain menyebutkan bahwa “setiap orang (pasien) berhak untuk mendapatkan informasi”, termasuk meminta penjelasan tentang obat yang tertera pada resep kepada apoteker dan hasil diagnose kepada dokter.
Tulisan ini dibuat berdasarkan niat berbuat baik terutama ditujukan untuk memberikan informasi dan pehgertian kepada masyarakat (pasien) bahwa mereka mempunyai hak yang dilindungi oleh peraturan dan perundang-undangan.
* Penulis adalah Pemerhati Kesehatan Bidang Farmasi/Ketua Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Aceh.
RESEP
atau dalam bahasa Inggris disebut prescription yang artinya “sebelum
ditulis”. Ini berarti pula bahwa nama obat harus dituliskan lebih dahulu
sebelum obat dicampur dan diserahkan kepada pasien. Sedangkan resep
dalam bahasa Indonesia berati “ambillah”.
Pada awal adanya resep, satu resep ditulis begitu banyak campuran bahan obat sehingga diperlukan sebagai catatan, mengingat penting dan perlunya pengertian resep secara universal maka bahasa yang digunakan pada resep adalah bahasa Latin, kata signa (aturan pakai), signa pro renata (digunakan sesuai keperluannya), resente paratus (harus dibuat baru).
Satu resep berisi permintaan dokter, dokter gigi kepada Apoteker untuk mempersiapkan, mencampurkan, dan menyerahkan obat kepada pasien. Pada waktu penyerahan obat kepada pasien yang menjadi tugas Apoteker adalah menjelaskan kepada pasien berkaitan dengan dosis, interaksi obat dan efek samping obat, serta memastikan bahwa pasien mematuhi penggunaan obat dengan aman dan efektif.
Mengingat perlunya ketepatan dosis maka pengawasan pembuatan obat campur menjadi salah satu tugas Apoteker. Walaupun tugas ini terlihat sederhana, karena umumnya obat diproduksi oleh industri farmasi dalam bentuk dosis dan sediaan standar yang dimaksudkan untuk distribusi dan transportasi.
Pada awal adanya resep, satu resep ditulis begitu banyak campuran bahan obat sehingga diperlukan sebagai catatan, mengingat penting dan perlunya pengertian resep secara universal maka bahasa yang digunakan pada resep adalah bahasa Latin, kata signa (aturan pakai), signa pro renata (digunakan sesuai keperluannya), resente paratus (harus dibuat baru).
Satu resep berisi permintaan dokter, dokter gigi kepada Apoteker untuk mempersiapkan, mencampurkan, dan menyerahkan obat kepada pasien. Pada waktu penyerahan obat kepada pasien yang menjadi tugas Apoteker adalah menjelaskan kepada pasien berkaitan dengan dosis, interaksi obat dan efek samping obat, serta memastikan bahwa pasien mematuhi penggunaan obat dengan aman dan efektif.
Mengingat perlunya ketepatan dosis maka pengawasan pembuatan obat campur menjadi salah satu tugas Apoteker. Walaupun tugas ini terlihat sederhana, karena umumnya obat diproduksi oleh industri farmasi dalam bentuk dosis dan sediaan standar yang dimaksudkan untuk distribusi dan transportasi.
Tugas lain adalah pemberian edukasi tentang penggunaan obat generik, dimaksudkan agar masyarakat mengerti bahwa obat generic mempunyai kualitas yang sama dengan obat bermerek dagang karena diproduksi oleh industri farmasi yang mengikuti standar pembuatan obat yang baik (GMP) yang diakui secara internasional.
Bentuk umum resep yang kita lihat adalah bentuk resep yang telah mengikuti ketentuan yang diharuskan, artinya pada satu resep mempunyai bagian-bagian pokok yang diharuskan ada sesuai Permenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, sehingga resep berisi tentang dokter, data pasien, nama obat, dosis obat, jumlah obat, aturan pakai, perimintaan dokter kepada apoteker serta nama dan tanda tangan dokter.
Resep merupakan satu penghubung profesionalitas antara dokter dan apoteker di mana dokter sebagai penulis resep dan apoteker yang mempersiapkan obat untuk kepentingan pasien. Sejak satu lembar resep diserahkan dokter ke tangan pasien, selanjutnya pasien menyerahkannya kepada apoteker, maka resep sudah masuk ke dalam wilayah kewenangan apoteker. Di sinilah peran apoteker untuk menyelesaikan resep sesuai dengan permintaan dokter mengikuti peraturan dan kaidah-kaidah kefarmasian.
Beberapa hal lazim dialami apoteker adalah, resep yang sulit dibaca, dosis tidak sesuai yang diperuntukkan kepada pasien dan hal yang tidak lazim pada resep adalah “resep hanya dapat dibaca di satu apotek saja karena menggunakan kode-kode tertentu”, adanya kalimat “obat tidak boleh diganti tanpa izin dokter, dan Resep Elektronik.
Resep yang menggunakan kode tertentu mempunyai tujuan untuk kepentingan dalam lingkup terbatas. Kondisi seperti ini disebut oligopoli yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan tidak sehat sebagaimana termaktup dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Satu resep yang normal, ditulis mengikuti ketentuan yang berlaku, dapat dibaca oleh semua apoteker dan tenaga teknis kefarmasian lain. Dengan demikian resep berkode, dilarang, karena tidak sesuai dengan standar, dan kondisi ini sudah sesuai dengan larangan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kemudian bila dilihat dari sudut pandang Kode Etik Praktek Kedokteran “seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien” pasal 7C SK PB lDl No. 221/PB/A.4/04/2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran lndonesia.
Dari kalimat “seorang dokter harus menghormati hak tenaga kesehatan lainnya”, jelas bahwa adanya kode tertentu pada resep bertentangan dengan jiwa dan semangat Kode Etik Kedokteran lndonesia. Jadi dari sisi perundang-undangan dan etika profesi tindakan membuat kode pada resep adalah tindakan tidak dibenarkan dan bertentangan dengan etika profesi.
Kemudian beralih ke hal yang tidak lazim lain, adanya kalimat “obat tidak dapat diganti tanpa izin dokter” kalimat seperti ini tidak termasuk bagian dalam resep, dalam selember resep kalimat seperti ini sifatnya tidak permanen/ tidak baku dan apalagi ditulis terus menerus seolah-olah sudah merupakan suatu ketentuan. Ini adalah satu pemahaman keliru.
Tidak ada yang salah bila dokter tetap menginginkan obat yang ditulis pada resep tidak dapat diganti asalkan tetap berpedoman kepada ketentuan ilmiah di atas dan ditulis dengan cara yang benar. Cara penulisannya, dokter dapat menulis (tulisan tangan, bukti otentik) “obat tidak dapat diganti” ini adalah ketentuan yang dipahamiApoteker.
Perlu diingat bahwa kondisi saat ini telah berubah, apoteker dapat mengganti obat yang dituliskan oleh dokter berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, sepanjang pasien menilai, harga obat generic lebih murah dari obat bermerek yang dituliskan pada resep, pasien tidak keberatan penggantian dengan obat generic atas pertimbangan Apoteker dan dokter tidak melarang penggantian dimaksud.
Sesuai dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi (IT), maka resep dokter direkayasa menjadi bagian IT sehingga dikenal resep elektronik. Resep elektronik adalah resep yang diketik secara komputer oleh dokter, berdasarkan sistem kerja komputer, resep langsung terkirim ke apotek, dalam bahasa Inggris dikenal dengan computer generated prescription (resep elektronik terintegrasi).
Resep elektronik ini pada umumnya berada dalam satu lingkungan pusat pengobatan atau lebih mudahnya pada praktek dokter bersama, jadi semua dokter mempunyai jaringan langsung ke apotek. Namun resep elektronik ini tidak dikirim masuk ke dalam sistem jaringan internet seperti email (siklus tertutup).
Untuk memahami hak pasien maka ada baiknya kita melihat UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, antara lain menyebutkan bahwa “setiap orang (pasien) berhak untuk mendapatkan informasi”, termasuk meminta penjelasan tentang obat yang tertera pada resep kepada apoteker dan hasil diagnose kepada dokter.
Tulisan ini dibuat berdasarkan niat berbuat baik terutama ditujukan untuk memberikan informasi dan pehgertian kepada masyarakat (pasien) bahwa mereka mempunyai hak yang dilindungi oleh peraturan dan perundang-undangan.
* Penulis adalah Pemerhati Kesehatan Bidang Farmasi/Ketua Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Aceh.
Editor : bakri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar