Ditulis pada 11 August 2011 pukul
11:31 am oleh Jimmy Ahyari | telah dibaca 286 kali | 9 Komentar
Menjelang
hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah
dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan
menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman
Nania. Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa?
Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat
itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang
yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata
tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya
berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata
yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana . Ia hanya menarik
nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu
gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan
spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus
adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama
terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk
melamarnya. Aris an keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua
berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah
berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu
pasti bercanda!
Nania
kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul
senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama
membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana
sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo
dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania
serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang
melamarnya.
Tidak
ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar
anak Papa yang paling cantik!
Nania
tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik.
Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata
kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang
pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi
Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang
melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania
terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi
dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga
juara debat bahasa Inggris, juara baca
puisi seprovinsi. Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu
meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang,
kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania
memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata
‘kenapa’ yang barusan Nania lontarkan.
Nania
Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak..
Hari
itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak
menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi
kenapa?
Sebab
Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian
tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak
ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal
hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat
pencapaiannya hari ini?
Sayangnya
Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania
memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan
data konkret yang bisa membuat Rafli tampak ‘luar biasa’. Nania Cuma punya
idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga
umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka
akhirnya menikah.
***
Setahun
pernikahan.
Orang-orang
masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania,
apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu
juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania
hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni
Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak
ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada
suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Nania hanya memandang
lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia,
siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya
kehidupan sukses!
Nania
merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya
sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa
lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi
Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan ?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses.
Tidak sepertimu.
Seolah
tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung
mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat
hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu
lelaki untuk menghidupimu.
Teganya
kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan
sebentar lagi punya anak.
Ketika
lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak.
Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir
diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania
tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya
Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan
mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik
menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah
hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan
kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa,
tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi
tidak penting.
Menginjak
tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania
memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik
masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik
orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara
Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh
beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu
bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar
untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang
kian membukit dari hari ke hari.
Tahun
kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak
sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
***
Bayi
yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!
Mula-mula
dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania.
Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit
yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.
Rafli
tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan
shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum
satu pun yang datang.
Anehnya,
meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak
menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru
pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang
suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang
pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh
jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului
keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan
mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih
pembukaan dua, Pak!
Rafli
tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak
sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak
sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter? Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana
jika terlambat?
Mereka
berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli
tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka
merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan
dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu.
Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak.
Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat
menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang
bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan
ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak
berhenti melafalkan zikir.
Seorang
dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan
hebat!
Rafli
membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di
mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka
selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama
Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli
seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat,
ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa
dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah
itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah
seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota
keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya
pulang.
Mama,
Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit,
sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak,
mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki
itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli
bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor
tidak perlu diragukan.
Begitulah
Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya
dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung
lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Rafli
percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania,
bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium
tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika
sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk
pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat
Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan
buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan.
Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania,
bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan
permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa
melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang
menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah
mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu
Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia
ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir,
kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik.
Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada
hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli
adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan
telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya
ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan
Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli
membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa
itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir.
Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per
satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah
dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania
seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika
malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu
merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.
Bagaimana
bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi
Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik
dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap
hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu
pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop,
rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan
hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya
tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat
mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara
wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu
berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga
tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan
iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik
banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya
memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik
serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama..
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi,
merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar
mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu.
Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka..
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya.
Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang
beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari
yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski
kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari
tangannya.
Waktu
telah membuktikan segalanya.
Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak
pernah berubah, untuk Nania…